Selasa, 27 Oktober 2015

Mimpi yang kukubur dalam

Selama beberapa bulan ini saya stop menulis, berharap mendapat ilharm atas apa yang sering saya sangsikan pada diri sendiri. Kemampuan saya, jiwa saya, gairah saya, yang entah pada saat itu berpijak pada apa. Yang menjadi keinginan saya pada saat itu adalah menjadi seorang penulis, yang saya rasakan saya senang melihat teman teman yang berproses untuk impian yang serupa. Tapi di tengah kebersamaan saya mulai bingung, saya akui saya tertinggal. Saya sadari itu sebagai kelemahan saya untuk berkembang. Semangat mereka sungguh membuat saya tadinya mampu sedikit mengikuti. Lama-lama hati saya tak tentu lagi arah. Mungkin ini hanya mimpi saya yang tak ada ujungnya. Atau mungkin baru sekarang saya sadari bahwa itu bukan "big dream" buat saya.

Saya melamun setiap hari, dulu saya bermimpi ingin menjadi penulis dengan visi dan misi yang dulu saya anggap kuat untuk diperjuangkan. Tapi semua itu seolah biasa saja sekarang, lantas apa mimpi saya selanjutnya. Apa saya harus menjadi orang yang kosong tanpa tujuan?

Selama berhenti menulis saya kehilangan gairah saya, semangat saya, teman teman seperjuangan saya, hubungan baik saya, lingkungan saya. Bahkan (hampir) pekerjaan saya. Walaupan tanpa mimpi itu saya lebih dapat menentukan langkah langkah di kehidupan nyata. 

Saya hanya ingin menulis karena itu membuat saya semangat. Tapi menjadi penulis bukan impian saya lagi. 

Saya sangat senang melihat orang mampu mewujudkan impian besarnya menjadi penulis. tapi tiap orang pasti akan menemukan jalannya. Saya rasa itu bukan jalan untuk saya. 

Ibarat pendekar saya ingin hengkang dari dunia persilatan meskipun saya baru belajar di padepokan dan belum merasakan pertarungan yang sebenarnya. Tapi saya sadar diri, saya tidak akan mampu maka saya memilih menyelamatkan nyawa saya, hidup saya, dan sesuatu yang lebih berharga dan tak akan mudah tergantikan.

Mengenai Shilpa itu bukan lagi nama pena tapi jati diri saya, saya yang pernah terbuang di masa lalu (yang sampai saat ini masih menghantui)...

*nulis apaan ini ga jelas saya sayaan mulu.. :P





Kamis, 04 Desember 2014

Bukan Menantu Idaman

Tak terasa sudah tujuh tahun, sejak pertama kali kumelihat senyum mengembang di bibirnya. Wanita muslimah yang bersahaja, sederhana namun penuh kharisma dialah ibu mertuaku.

Dalam bilik hati kusimpan namanya dengan rapi. Meski kini dirinya sudah tiada, tapi kearifannya selalu menjelma dalam kenangan. Betapa besar hatinya menerima kehadiranku, seorang menantu bagi anak laki-laki terakhirnya. Wanita dengan banyak ini, berhati besar. bagaimana tidak dengan tulus dia mengabulkan pernikahan yang sudah aku impikan, meski sejak awal aku merasa telah mengecewakannya.

Aku menikah dengan putranya yang terakhir dimana ada putranya yang lain yang belum berkeluarga. Aku cukup tahu diri seorang ibu mana yang dengan gegabah menerima begitu saja pernikahan tanpa memperhatikan perasaan putranya yang lain. Tapi keluarga suamiku sungguh ajaib, dari awal mereka tidak mempersulit keberadaan diriku.

Oh, aku teringat teman lamaku yang sampai saat ini belum juga menikah karena urusan restu. Dia yang anak bungsu harus menunggu kakaknya menikah terlebih dahulu. Dia tak mau kakaknya cemburu. Bahkan ada kisah tetanggaku yang sampai sakit karena keinginannya untuk menikah terhalang restu kakak perempuannya yang tak kunjung menikah, kemarin baru kuketahui kelanjutan kisahnya tetanggaku itu telah wafat karena penyakit lever, dan belum sempat mewujudkan pernikahannya, innalillahi ...

Terkadang aku merasa, kebahagianku sekarang tak akan menjelma tanpa kebesaran hatinya merestui kami. Sampai saat ini pun beliau sering hadir dalam mimpi, mengenakan mukena putih dan mengajakku shalat di Masjid yang ada di hadapan rumahnya. Mungkin semua karena aku terlalu merindukannya, merindukan tegur sapanya, yang selalu berbicara penuh makna.

Maaf ibu, jika mulut ini jarang metapalkan do'a untukmu ...

Dan maaf, untuk waktu yang teramat singkat bagi kita ..., sehingga tak banyak waktu untuk kita saling banyak mengenal. Tapi aku terima ketulusanmu sejauh nafasku sejak kumengenalmu. Maaf jika aku belum menjadi pendamping putramu yang baik, maaf jika aku belum dapat menjadi ibu yang baik bagi cucumu. Dan maaf selama ini belum bisa menjadi menantu yang idaman, terlebih karena kesempatan itu semakin kecil. Aku berharap kebesaran hatimu itu berbuah syurga bagimu.

Ketika luka itu diusik kembali ...


Hati sudah berusaha tuk membebaskan, ya sudah merasa bebas. Tapi semuanya di uji ketika seseorang yang pernah mencabik-cabik jantung bahkan memporak porandakan kesabaran itu datang dan singgah lagi di rumah baru yang damai, dia datang dengan senyum tanpa cela, seolah memakai pakaian kesucian tak berdosa.

Tiba-tiba di kepala ini begitu ramai dengan suara,

"Jangan belagu, kamu. Orang gak punya berlagak pake ikutan sekolah segala!"

"Jangan sok kaya, kamu. Gaul sama anak sekolahan. Orang tua kamu itu cuma babu, bapa kamu juga cuma pegawai bang ... bangunan! haha...."

"Cuma anak panimu aja sok gaul, ngaca!"

Astagfirullah, batinku. Meskipun aku bukan anak dari orang berada, tapi aku bersyukur orang tuaku masih mementingkan yang namanya sekolah. Walaupun tidak sampai kuliah. Sudah menjadi kewajiban buatku untuk bersyukur dan berterimakasih kepada ke dua orang tuaku yang dengan segenap tenaga membesarkan dan mendidik aku sampai sejauh ini. Meski aku belum bisa dianggap orang yang sukses.

Wajah tamu itu berbinar-binar, entah apa hatinya sudah damai dari percikan api yang biasa ia muntahkan lewat mulutnya. Aku hanya menjawab celotehannya seperlunya, takut-takut kebiasaannya di masa lalu masih berlanjut (mengadu domba). Satu jam dia berbincang dengan ibu, penilaianku tentang dia yang saat ini sepertinya masih tak berubah. Dia merasa suci, bahkan dia terus mengungkit masa lalu yang baginya tak ada masalah, bahkan dia lupa dengan perilakunya di masa lalu, mungkin Allah belum menyadarkannya. Ya, aku mencoba mengobati diri, tenggelam di antara suara-suaranya yang terus berceracau, kualihkan pikiranku pada yang lain. sekedar ingin membuatku lupa dan jangan sampai luka itu terjamah lagi.

Aku sibukkan diri di dapur, mengisi panci dengan air dan menaruhnya di atas kompor yang menyala, mengambil sebungkus mie instan dari kardusnya. Ah, badanku terasa lunglai, aku kalah dan menghindar, tapi mungkin ini lebih baik dari pada aku terpancing amarah, suaranya masih kudengar dengan jelas dari sini. Aku merasa, kok ada ya orang yang tak punya malu, bahkan tak punya rasa seperti dia. Perasaanku, lama-lama larut juga pada kejadian di masa lalu. Terbayang lagi sekumpulan wajah-wajah yang melengkapi deritaku, yang kurang lebih semua adalah saudara kandung orang yang bertamu itu. Ya mereka yang selalu menguras tangisanku, tangan-tangan yang sering menyelakakan aku
.
Aku kembali ingat pada adiknya yang hampir mebakar rambutku, gara-gara terpancing emosi ketika kejahilannya aku lawan. Aku masih ingat dengan ancaman salah satu dari keluarganya yang ingin menistakan aku dengan dosa. Aku jadi teringat kembali, ketika aku putuskan untuk menyendiri dan tak mau bergaul, salah satu dari mereka mengira aku hamil. Astagfirullah, apa orang seperti itu pantas dianggap saudara, tapi aku masih menganggapnya saudara. Entah, aku tak bisa membalas segala perlakuannya, entah aku yang pura-pura sabar, bodoh, atau tak bernyali. Tapi satu yang aku yakini, semua akan ada balasnya. Aku meminta yang terbaik bagiku dan bagi orang-orang itu. Selama lebih dari dua puluh tahun, satu persatu Allah perlihatkan, bahkan tanpa aku minta.

Suara air mendidih juga mie yang matang, masih tidak membuatku beralih lamunan, di pojok dapur kunikmati mie instan yang berbumbu tangisan. Leher ini seperti tercekik, aku masih sakit, Ya Allah, aku menyadari belum bisa ikhlas dengan mereka, ampuni hamba ... dan jangan sampai hamba kembali menyimpan kebencian.

"Mamah lagi apa?" seorang bocah kecil menghampiriku, Aku jadi malu. Segera kuseka pipi yang basah dan mata yang berkaca ini.

Tiba-tiba si tamu berpamitan, selepas dia pergi. Aku melihat wajah ibuku yang berubah.

"Kenapa Mah?"

"Nggak aneh aja, orang yang dulunya galak sama kamu, sekarang mau minjem uang ke mamah, kok bisa ya ...."

Aku hanya dapat menarik napas panjang, teramat-amat panjang.

Pagi yang aneh, hari yang aneh dan tamu aneh.

Bandung, 4 Desember 2014.

Sumbergambar: MangGugel

Kamis, 16 Oktober 2014

Cinta yang Kugantung



Cinta yang Kugantung

Oleh: Shilpa Yahya

Bulan separuh yang bernaung di balik awan, seperti mengambarkan hatiku yang tinggal sisa. Menyepi dan kini sendiri. Masih tersisa embun-embun bekas hujan tadi sore, udara masih terasa menusuk tulang dan daging, demikian pula perasaanku.

Melihat pemandangan malam ini imajiku mengingat lagi masa lalu. Hari-hari dimana dulu aku sempat bahagia dan bersama orang yang aku cintai. Jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku akan selalu cinta, sekarang pun aku sedang bertahan dalam cinta.

Teng.. Teng.. Teng.. Oh, rupanya bunyi jam itu mengagetkan aku. Telah habis waktu istirahat, secepatnya aku harus melupakan  lamunan ini. Aku kembali pada tugas yang biasa harus kulakukan. Sambil menunggu majikan datang dan meminta dibukakan pagar, aku mengepel seluruh ruangan agar tampak rapih di matanya. Memang lelah, tapi semua aku lakukan demi cinta yang (semoga saja) masih menungguku.

Bunyi deruan mesin mobil telah terdengar di depan rumah, sudah dapat kutebak bunyi klakson akan menyusul beberapa detik lagi. 

TID.. TID.. 

Benar saja majikkanku telah memberiku aba-aba agar kumemburu kedatangannya. Aku senang karena lelahku hari ini akan segera berakhir, tentunya setelah menyiapkan makan malam terlebih dahulu.

“Malam Jum, bagaimana hari ini .., apa kedua jagoanku merepotkanmu?” Tanya nyonyaku dengan senyumnya yang dapat membuatku lupa pada letihnya badan ini.

“Tidak terlalu nyonya, memang sudah biasa kalau Abang sama Adik sering berantem dan main kejar-kejaran. “

Nyonya majikanku ini orangnya baik, santun dan dia sangat berwibawa. Walaupun  seorang janda, dia amat disegani di kota ini. Suaminya dulu pernah menjadi Pejabat. Sayangnya maut memisahkan mereka, tinggalah ia dengan kedua buah hatinya kini disini ditemani olehku. Aku tidak merasa seperti pembantu, karena Nyonya sangat menghargai dan menyayangiku. Aku memang bekerja keras di rumah ini, itu semua aku lakukan semata untuk membalas segala kebaikannya. Aku ingin sempurna dalam semua pekerjaanku. Aku berkonsentrasi untuk itu, walaupun sebenarnya kulakukan untuk melupakan pikiranku tentang hal lain. Ya, untuk meredam rindu pada kampung, rumah, dan suamiku.

**

“Ceraikan saja dia ..” Bisikan suara Ibu masih dapet kudengar dengan jelas. Kuintip dari balik pintu, 

Mas Heru memasang wajah tak enak.“Tidak mungkin Bu, aku sangat mencintai Sinta .., dan tak ada alasan aku untuk menceraikannya.”
“Alasan? Kamu saja yang menutup-nutipinya. Lihat sampai kini istrimu itu belum juga bisa memberi Ibu cucu. Apa itu bukan alasan? Suara Ibu sekarang jelas terdengar olehku, aku tak sanggup menyaksikan lagi perbincangan ini. Kututup saja pintu kamar, berbalik dan menjatuhkan diri di atas kasur menyembunyikan kepala dan pikiranku dalam bantal.
Ah, aku tak sanggup, lirih dalam hatiku tak dapat kutahan. Aku kecewa pada diri yang tak sempurna ini. Tapi aku tak pantas begitu. Aku hanya manusia. Tuhan, aku akan menerima apapun, asal masih bisa menjadi istri Mas Heru.
“Putuskan sekarang, ibu tak mau lagi menunggu!” Suara Ibu dapat menembus telingaku yang kututup rapat. Rupanya emosi Ibu memuncak, mungkin Mas Heru menyampaikan kerelaannya untuk tak berketurunan denganku. Mas Heru memang sangat mencintaiku, dia tak pernah menuntun anak dariku, apalagi setelah tahu ada masalah dengan rahimku.
“Tidak Bu, aku tidak mau meninggalkan Sinta. Aku sangat menyayanginya..”
“Bohong kamu, paling kamu hanya kasihan ‘kan padanya? Sudahlah Her, menikah lagi saja, dengan begitu kamu bisa punya anak, Ibu ingin cucu … Kamu pun tidak harus menceraikan Sinta. Kamu ‘kan bisa poligami?”
“Apalagi begitu, Aku tak akan tega.”
“Harus bagaimana lagi ‘sih, Ibu meminta padamu. Apa kamu akan membiarkan Ibu meninggal tanpa pernah menimang cucu Ibu sendiri, Her .., darah dagingmu?”
“Sabar saja Bu, mungkin Allah sedang menguji rumah tangga kami.”
“Ini sudah lebih dari sepuluh tahun, mau menunggu sampai Ibu mati? Her, Ibu mau cucu..” Nampak Ibu sangat emosi menghadapi mas Heru yang dingin menyikapi masaah ini. Aku faham, mas Heru tak ingin melukai aku. Maka tak pernah ia menyinggung masalah anak. Dia menutupi keinginan terbesarnya itu demi perasaanku.
**
“Jaga kandungan kamu Sin, Cucu Ibu harus sehat ..”
“ Jangan khawatir, Bu .. Aku akan baik-baik saja.
Usia kandunganku 5 bulan saat itu, begitulah Ibu mertua sangat menjaga keadaanku, memperhatikan dan masih menyayangiku, sebagai menantunya.
Tapi semua itu sirna. Saat malam hari, tiba-tiba saja kandunganku terasa sakit yang hebat. Ya, nyeri dan ngilu. Ku tak tahan menahan rasa sakit ini. Hingga aku berteriak-teriak sehingga mengagetkan orang-orang yang ada di rumah. Aku lantas dibawa ke dokter kandungan. Dokter menanganiku dengan hati-hati karena Ibu tak henti menyuruh dokter segera menanganiku. Rupanya Ibu sangat panik hingga berkata-kata tak jelas pada dokter.
“Ini cucu pertamaku, selamatkan dia Dok .., tolong …”
Aku tak mampu berkata-kata karena sakitnya. Apalagi setelah di USG ternyata aku hamil di luar kandungan. Oh batinku tak kusa menahan cobaan ini, padahal tak sebentar aku tunggu kehadiran janin di rahimku ini. Empat tahun pernikahan aku baru bisa hamil. Dan ternyata harus diangkat karena janin berada di luar kandungan.
“Demi keselamatan menantu Ibu, terpaksa janinnya harus diangkat. Tak mungkin juga dipertahankan karena ini bukan hamil normal Bu, menantu Ibu mengalami apa yang sering orang sebut sebagai hamil anggur.”
Aku tahu perasaan Ibu pasti lebih kecewa.
Selama seminggu aku dirawat dan akhirnya boleh pulang. Wajah ibu masih terlihat murung dan tak banyak berkata-kata padaku. Dia terus-terusan menangis apalagi di hadapan suamiku. Batinku makin sakit. Tapi tidak semestinya Ia begitu, Apa ini memang mauku? Semua ini cobaan, akupun tak mau, tapi tetap harus menerima. Sabarku terus kupertahankan. Bukan hanya karena karena kehamilanku yang akhirnya sirna tapi karena sikap Ibu yang berubah padaku.
**
Pernikahanku menginjak usia 10 tahun, masih saja masalah anak menghantui hubunganku dengan mertuaku.

“Jangan Sinta, jangan pergi .. Apapun alasanmu jangan pernah meninggalkan aku. Mohon mengerti, kulakukan semua karena ibu.” Pinta mas Heru padaku untuk terakhir kalinya. Tapi tak dapat menolak hasratku untuk pergi menjauh darinya. Bukan aku yang tak cinta lagi, tapi semua demi dia dan ibunya.
Akhirnya aku pergi dengan menyembunyikan tangisku di hadapannya. Pergi menjauh dengan bayang kebahagiaannya dengan wanita lain--wanita pilihan kedua orang tuanya—yang membuatku sakit . Tapi kami tak pernah resmi bercerai. Tak pernah aku pinta cerai darinya, juga demikian ia padaku.
Kenapa aku harus pergi darinya, sedang aku masih cinta dan selamanya akan selalu cinta?Jawabannya adalah Suci. Kenapa Ibu harus memilih suci untuk maduku?
Aku tak percaya, kedatangan suci malam itu telah merubah kehidupanku dengan Mas Heru untuk selama-lamanya. Sahabat lamaku itu singgah ke rumah untuk menginap karena kemalaman saat ada tugas di daerahku. Tentu saja, rumahku akan selalu terbuka untuknya. Dia adalah sahabat baikku.
“Silahkan saja Suci, tak usah malu .. Memang lebih baik kamu menginap saja di rumahku, Suamiku tak akan apa-apa. Malah dia akan senang karena aku jadi punya teman  ngobrol. Aku juga senang kamu mau berkunjung ke rumahku .. Sudah berapa lama juga ‘kan kita tak jumpa?”
“iya Sin, terimakasih .., untung tadi aku ingat rumahmu dekat sini. Tadi aku sempat bingung loh mau pulang ke mana. Jalanan sudah sepi, angkutan umum pun sudah tak ada. Pas aku buka kontak hp masih ada nomer hpmu jadi tanpa pikir panjang aku hubungi kamu. Beruntungnya kamu sama suamimu mau menjemput aku .. Makasih ya ..” Saat itulah Ibu mulai menelisik dan mendengarkan percakapanku dan sahabatku itu. Ibu memata-matai kami.
Suci itu cantik, baik, dan dia bukan bandingannya denganku. Parasnya, tubuhnya juga gayanya yang memukau, dia itu seperti bidadari. Kenapa dia belum punya jodoh juga? Itu yang membuat ibu tertarik. Nampaknya Ibu diam-diam punya rencana.
Setelah Suci menginap di rumahku pada malam itu, Ibu sering menanyakan tentangnya pada Mas Heru. Mas Heru jadi bertanya padaku, ya tentu Suci ‘kan temanku,  pastinya Mas Heru dipaksa ibu untuk kenal Suci lebih banyak.
Tak pernah aku pikirkan sejauh ini, rupanya rencana ibu disambut oleh keluarga Suci. Mereka khawatir dengan anak gadisnya yang telah berumur tiga puluh enam tahun itu akan sulit mendapatkan jodoh. Pinangan ibu diterima. Aku tak dapat mencegahnya, Begitu juga Suci—sahabat terbaiku—terpaksa menuruti kehendak orang tuanya. Mas Heru enggan berbicara padaku tentang ini, karena memang percuma.  Niat ibu tak dapat dihalang-halangi lagi. Dan niatku untuk pergi sebaiknya segera aku lakukan.
Aku lari dari Mas Heru, kepergianku secara baik-baik selalu saja dihalanginya. Kulakukan ini bukan karena membencinya. Tapi aku tak sanggup harus menahan rasa cemburu bila nanti Suci dan Mas Heru bersama. Lebih baik aku yang mengalah.
Kudengar, setelah kepergianku selama 5 tahun Mas Heru telah dikaruniai seorang putra. Karena itu aku memilih tetap begini, mencintainya dari jauh. Hatiku pilu, tapi aku bahagia jika ia bahagia karena itu. Sedih memang menjadi wanita seperti aku, mertuaku lelah menunggu keturunan dariku, hingga memilih wanita lain untuk mendapatkan cucu. Aku tak pernah marah karena aku merasa bukan wanita yang sempurna. Tapi aku tak pernah kuasa melihat wanita yang harus mendampingi suamiku karena dia sahabat dekatku.
Aku pergi tak tentu arah, hampir tersesat di kota yang sebelumnya tak pernah aku datangi. Semarang adalah tempatku sekarang. Tinggal bersama keluarga yang menerimaku bekerja dan aku mengganti namaku menjadi Jumirah. Aku lakukan agar Mas Heru tak pernah menemukan aku. Walau sebenarnya ingin aku kembali padanya, tapi bagaimana dengan sahabatku? Menurut saudaraku di kampung, mas Heru masih mencari keberadaanku bahkan Ia rela menceraikan Suci untukku. Tapi aku tak mau menerima kabar ini, semuanya hanya akan membuatku bingung. Biarlah aku mencintainya sebatas do’a dan dia menjadi suamiku selamanya.  Sengaja aku menggantung cinta di hatiku untuknya agar dia tak pernah meninggalkan Suci untukku.

Rabu, 09 Juli 2014

Antara sorak dan tangis

Hari ini wajib mandi pagi, soalnya TPS udah siap minta dikunjungi. Nuansanya sudah seperti tenda hajatan, ditutup dinding terpal.

Tetangga juga mulai ramai, siap-siap di depan rumah masing-masing. Ada juga yang lewat depan rumah dan mengingatkan agar tak lupa menggunakan hak pilih kita hari ini. Perasaan tahun ini heboh banget ya, dari yang orang bukan apa-apapun sibuk menangin capresnya. Ibu-ibu yang tinggal di beda blok denganku saja, sampai ngingetin untuk nyoblos jagoannya.

Tapi PEMILU kali ini terasa lebih tenang bagiku, karena kedua calonnya jelas ada dan tahu, tak seperti pemilu kemarin pas bagian nyoblos caleg banyaknya gak kenal, dan akhirnya pilih orang yang terkenal tanpa tahu apa programnya.

Alhamdulillah sudah pilih salah satu dari dua pilihan yang ada. Tinggal duduk manis dan berdoa, Allah yang maha menentukan. Allah juga tidak akan diam. Berharap siapapun yang maju jadi presiden mudah-mudahan yang terbaik bagi indonesia.

Bersorak bagi yang menang belum tentu juga Indonesia lebih baik. Menangispun bila kalah bisa jadi itu kekalahan yang baik di mata Allah. Berserah saja semoga negara ini berjodoh dengan pemimpin yang dapat membawa pada kemajuan dalam berbagai bidang. Aminn...

Minggu, 06 Juli 2014

Bekerja sambil ngasuh anak itu tidak mudah

Bekerja, menikah dan tetap memilih bekerja bukan hal yang sulit selama mendapat restu suami. Tapi selama hamil masih bekerja tak semua orang sanggup melakukannya, karena setiap kondisi kehamilan tidak selalu sama pada tiap orang.

Alhamdulillah, setelah menikah masih bisa bekerja, hamilpun masih bisa beraktifitas seperti biasa. Bahkan setelah melahirkan dan menghabiskan masa cuti yang pendek bisa kembali bekerja dengan normal. ASI pun masih bisa kuberikan dengan maksimal, sehingga tak ada perasaan bersalah yang berlebihan karena telah meninggalkan bayiku selama bekerja. Secara juga bayiku ada yang menjaga dengan baik.

Sekarang bayiku sudah tumbuh besar, usianya sudah menginjak 4 tahun. Meninggalkannya bekerja tak lagi semudah dulu, tinggal pamit sama yang menjaganya. Sekarang yang kulakukan untuk pamit bekerja lebih rumit, karena anak tidak selalu bisa diajak kompromi, terkadang ada saja syaratnya agar aku bisa lolos dan diijinkan pergi kerja. Artinya sekarang dia lebih sering menahanku untuk diam di rumah dan menghabiskan banyak waktu untuknya.  Ya, enak juga sih bisa seperti itu. Ibu mana yang rela terus menerus meninggalkan anaknya untuk bekerja? Tentu aku juga ingin bisa jadi ibu rumah tangga seutuhnya tapi masih bisa berpenghasilan walau hanya diam di rumah, tapi belum bisa sekarang. Rupanya perlu banyak ilmu dan kesabaran untuk mencapai sesuatu yang kita anggap hal yang nyaman dan membahagiakan. Aku harap selama aku belum dapat mewujudkannya, selama itu pula aku bisa mendidik anakku menjadi anak yang kuat dan pengertian bahwa ibunya bekerja karena sayang dan bukan sekedar mencari materi.

Selasa, 01 Juli 2014

Catatan hati seorang ibu..

Menjadi seorang ibu bukanlah hal yang mudah, tentu semua orang sudah tau itu. Hal ini merupakan.tantangan yang nyata harus kuhadapi saat ini. Anakku yang terus bertumbuh besar memerlukan dukungan pendidikan yang paling utama ialah asuhan terbaik dariku sebagai seorang ibu.

Akhir-akhir ini, aku sedikit kewalahan menghadapi anakku yang aktif, tak hanya saat bermain saat mau tidur dan kelelahan pun mulutnya tak berhenti bicara tentang hal-hal yang ia ingin ketahui. Tentunya aku senang artinya anakku tumbuh normal di usianya yang baru 4 tahun. Tapi ada yang aku khawatirkan karena aku tak selalu bisa mendampingi putraku ini. Aku bekerja secara sift. Ada 2 sift. Sift pagi dari jam 10 sampai jam 6 dan sift siang dari jam 2 sampai jam 8. Siftnya terbilang mudah untuk dapat berbagi waktu dengan anak, ya sedikit beruntung tidak seperti ibu yang bekerja full di kantornya sehingga sulit sekali menemukan kebersamaan dengan anak.

Tapi terkadang pekerjaan yang tidak terlalu menyita waktu itu justru menyita pikiranku, dan tidak jarang juga aku kurang konsentrasi dalam mengasuh anak. Akibatnya aku hampir lalai karena banyak pikiran. Sedih kalau anakku jadi korban, jangan sampai. Bagaimana ya, agar aku bisa enjoy di rumah tanpa kepikiran terus masalah kerjaan. Sementara memilih melepas pekerjaan bukan keputusan yang baik untuk waktu sekarang. Artinya aku harus punya solusi yang baik. Ya itu dia, aku tidak boleh bosan diam di rumah. Mungkin itu yang membuat kepalaku mumet di rumah, belum lagi kalau anak mulai banyak tanya ini itu. Duh, saking terus-terusannya gak berhenti ngomong dan berpikir jawaban apa yang pantas buat anak bisa ngehang duluan kepalaku. Akibatnya jadi stress, padahal udah kewajiban aku memberikan asuhan juga jawaban yang baik pada anakku.

Nah, hari ini aku libur. Giliran anakku menyerang dengan daya imajinasi anak-anaknya yang bermain. Aku siap-siap aja capek ngomong. Tapi aku harus bisa dan berhasil membuat dia paham dengan apapun yang ingin ia ketahui tentang dunianya. Inilah tugas ibu dan aku harus enjoy. Makanya aku harus bisa membagi kepalaku jadi dua. Yang satu urusan kerja satunya urusan anak. Urusan kerja harus kusimpan di lemari dan saat di rumah adalah waktunya senang-senang sama si kecil.

Artinya aku harus bisa berperan dan jadi teman si kecil yang baik.